Ketika Tarawih Diantara Mereka


Bagaimana ya untuk mengawali ini? karena jikalau saya menceritakan ini akan menjadi nilai negatif pembaca (orang-orang yang rela mau membaca tulisan yang tidak penting-penting banget dan tidak pula berfaedah) terhadap saya. Apalagi soal ibadah, ini sakral; maksud saya kekhusukan dalam beribadah disini akan dipertanyakan. Tapi ini merupakan ide yang perlu dituliskan untuk mengusir ‘saya musti ngapain di jam begini’.
Ngapain Nak?

Ternyata saya bukan lagi seperti mereka. Saya sudah dewasa (menurut pengamatan mereka dilihat dari kumis dan jenggot yang saya miliki, agak berantakan dan tak terurus. Dipanggil dengan Om pula. Kurang Tua apa coba?) saya jadi tak bisa seperti mereka; bocah-bocah mbeling.
Oiya, Saya ini adalah remaja setengah sholeh yang dipanggil mereka dengan sebutan Om, hanya karena salah satu diantara mereka beli wedang jahe. Sewaktu mau berangkat sholat Tarawih tetapi kebagian sholat Isya berjamaahnya rokaat terakhir kejadian ini bermula. Tapi asal pembaca tahu—saya— meski berangkat terakhir tapi pulang juga terakhir. Hoho...

Ditempat shaaf saya— saya berada diantara mereka. kiri-kanan saya bocah-bocah mbeling. Lalu depan saya juga ada. Saya dikepung ditengah-tengah. Sewaktu sholat isya, mula-mula mereka hanya satu anak saja. Kemudian dari depan sekumpulan bocah-bocah tertawa-terkiki menuju barisan belakang; shaaf dimana saya berada.
Mereka mulai menggelar sajadah yang lebarnya kaya lapangan futsal; sajadah yang bisa dipakai buat dua orang seukuran mereka. saya sedang asyik berdzikir setelah itu berdoa; memohon dipertemukan jodoh yang cantik. Saya masih ingat khutbah jum’at tadi siang, doa orang puasa merupakan doa yang paling dikabulkan. Apalagi dibulan romadhon, maka saya meminta jodoh yang paling dan ter—pokoknya. Tetapi karena tingkah mereka; bocah-bocah mbeling doa saya jadi terhenti. Doa jodoh yang saya minta jadi kurang komplit. Semoga doa saya tersampaikan walau belum terucap. Mereka berbisik-bisik depan sajadah saya. Bocah yang kanan mendekat ngomong ke bocah kiri. Jadi pertemuan mereka tepat di depan sajadah saya. Melihat begitu bocah yang didepan putar balik badan. Lalu begitu bocah depan hendak mendengarkan bisikan bocah kanan-kirinya langsung bubar. Saya tanpa sengaja mendengarkan bisikan tapi tidak dengan bocah yang didepan. Intinya, kedua bocah kanan kiri merencanakan buruk dengan bocah yang didepan. Sampai akhirnya sholat tarawih dimulai.
Mulailah aksi-aksi kejailan dilakukan. Anak depan dicolek-colek. Anak yang nyolek pura-pura enggak ngerti. Saya tahu siapa pelakunya; bocah gendut yang dikanan saya, kata saya didalam hati. Bocah ini pelaku utama dari serangkaian yang bakal dilancarkan. Mohon waspadalah, lanjutku pesan untuk bocah yang didepan saya. Ketika ruku’ saya lupa bacaan surat apa setelah surat Alfatikha tadi. Ini bukti khusukan saya telah hilang lantaran bocah-bocah mbeling ini.

Ketika si bocah depan saya sudah tahu maka berlanjut dengan lempar-lemparan kopiyah milik masing-masing; saling bergantian; balas-membalas; diambil lalu dilempar lagi begitu selang beberapa rokaat salat tarawih. Sajadah saya jadi berantakan, solat saya jadi kabur, entah kemana kekhusukan saya. Dalam hati, saya ingin memungut kopiyah yang dilempar lalu saya keplak satu-persatu tuh anak. Beruntung saya termasuk remaja tua yang sadar dan penyabar. Jika saya lakukan mereka pasti mengadu pada ibu mereka. Dicincang deh saya ini. Maka saya lebih memilih berfikir dulu juga saya begitu, maklum.

Saat saya seperti mereka, kamipun juga begitu; sholat tarawih dalam gaduh dan riuh. Saya jadi teringat ketika dulu kami seperti mereka. Saat mushola belum sebagus ini dan kami tidak diperbolehkan sholat didalam hanya diluar yang beralaskan tikar. Tapi justru itulah kebahagian kami. Kami bisa main sambil sholat tarawih.
Ada memori yang masih tersisa dalam otak saya; waktu ruku’ salah satu diantara kami menjorokan kesisi. Satu shaaf jatuh semua. Jeritan, suara gemuruh, getaran semua jadi padu. Setelah salam, semua kembali semula. Seolah-seolah bukan kami yang sembahayang guyonan. Tapi tetap saja ketahuan karena wajah kami masih tersimpan sisa senyum, ketawa, atau rintihan kesakitan.

Saya jadi melamun. Padahal saya sedang berdiri sholat tarawih, tapi fikiran saya ini rindu masa lalu. Meski bocah-bocah mbeling ini gaduh dan riuh saya biarkan saja. Sejujurnya memang mengganggu kekhusukan saya, mungkin bukan saya saja, sama yang lain juga.

Tapi dengan adanya mereka saya jadi teringat ketika hendak melakukan duduk akhir—saat sujud—kaki saya ditaruh bata merah dan saat duduk, saya, ah, saya jadi ketawa sendiri dalam kondisi salat tarawih begitu.

Comments

Popular posts from this blog

Tresno Joyo

Ringkas Saja Ngomongin Proses Pembuatan Film

Cerita Kalabahu 41: Lantangkan Suara