Kota kecil ini dan Dibaliknya
Kota
ini terlalu kecil, kata pengetik itu sambil menekan deretan
papan kecil –yang diatasnya terdapat keterangan huruf—pada sebuah alat canggih.
Saya jadi bosen sendiri ketika berada di
kota sendiri. Mau kemana? Saya sudah terlalu dewasa untuk berkeliling ke
penjuru kota sendiri. Setahun belakangan saya jadi penganggur yang masih bisa
dapat menghasilkan dengan uang sendiri hasil bungkusin minuman anget yang saya
jajakan dipinggir jalan. Meski nilainya cukup untuk jajan, bayar uang cicilan
sekolah, dan muter balik untuk beli bahan kembali. Sebentar, katanya untuk
minta jeda. Dia mengambil kotak rokok dan mengubah kotak rokok itu seperti
memalu pada telapak tangan satunya. Dan keluarlah sebatang rokok. Aroma tembakau
langsung menyegarkan di hidung. Ujung rokok itu dia tepuk-tepuk. Biar rata, katanya. Lalu menyulut dengan
korek. Dan dia menghisap rokok kretek itu penuh kenikmatan. Lalu mulai melanjutkan
kembali.
Ya,
kota ini seperti tidak ada isinya. Orang-orang dan bangunan disini tidak banyak
bercerita apa-apa. Semua orang dikota ini seperti mati rasa. Indera mereka
seperti dicabut oleh penguasa jagad raya. Mata yang seharusnya digunakan untuk
melihat keindahan justru gelap. Mereka buta. Belum pendengaranya. Belum
penciumanya. Dan hati mereka terutama. Sama sekali tak digunakan, mungkin
hilang kali. Itu hanya perupamaan saja jika kota ini dipersonifikasi seperti
manusia. Hahaha, dia tertawa sendiri. Kira-kira sudah betul tidak memakai majas personifikasi? Uhuk!!
Uhuk!!, Dia bertanya dan terbatuk sendiri. Rokoknya kemudian ditaruh dan
api pada ujung batangnya ditekan dengan dinding. Dindingya bergaris abstrak
hitam. Rokok memang tidak baik bagi
pemuda seperti saya ini. Maklum! Kali ini dia menasehati untuk diri
sendiri.
Apalagi
jalanan dan bangunan disini, saya sudah mulai muak!,
dia mulai bercerita kembali. Kemana saya
akan pergi saya males setiap bangunan yang ada disekitar jalan. Itu-itu saja!
Tau tidak?, tangan dia menunjuk arah
ke barat, jalan sepanjang Jendral
sudirman sampai monumen orang yang lagi mengacungkan runcing bambu dan barat
sedikit ditengah bundaran ada duplikat Nanas gede yang dikelilingi air mancur.
Duplikat Nanas yang baru dibangun itu, tapi payah. Nah, itu adalah jalanan yang sering saya lewati. Tapi sekitar situ ada
tempat yang saya sukai. Perpustakaan daerah. Jika masuk disana merasa di negeri
belahan dunia lain. Bahkan lebih luas lagi. Saya tidak bisa jelaskan lagi.
Hanya itu saja obat dari kejenuhan dikota kecil ini.
Tetapi
tetap saja lama-lama enggak enak juga. Itu hanya sebuah ruangan yang diawasi
oleh penjaga berseragam baju coklat. Risih kalo terus-terusan kesitu. Dia
tiba-tiba sinis. Muka saya mau taroh dimana? Katanya bertanya.
Dia nampak kusut memang tinggal dikota kecil ini. Meski
dia mengaku kota kelahiran sendiri dia terlihat tidak sepenuhnya bahagia. Iya bagaimana tidak?, dia melanjutkan
lagi, kota sekecil ini seharusnya tidak
memaksa hati untuk bersikeras mencari sesuatu hal. Kota kecil ini diperuntukan
untuk waktu istirahat setelah betul-betul lelah. Bukankah begitu?, dia
mulai beretoris. Oh mungkin saya hanya
salah mengggunakan kota kecil ini sebagai apa. Mungkin iya, dia menjawab
sendiri.
Beruntung
sesuatu telah terjadi dan menjadi kabar baik dikota kecil ini. Saya mendapatkan
sesuatu yang dapat menggantikan dan memusnahkan kejenuhan dikota kecil ini.
Untung saja saya tidak jadi gila,
dia mendadak girang. Kali ini ketawanya lepas sekali.
Beberapa
bulan terakhir, saya menemukan bak pelangi pasca hujan reda. Saya masih
bertahan dikota kecil ini. saya bertemu dengan seseorang yang menghiasi
hari-hari saya dikota kecil ini. Tapi saya mau mengucapkan terimakasih
saja. Terimakasih atas segalanya. Dan
maaf juga saya telah merubah sesuatu yang indah menjadi kelam. Sepertinya salah
saya dalam menikmati kota kecil ini, Dia melamun sebentar. Dia
hendak mengucapkan sesuatu tapi diam sebentar. Terimakasih telah mendengar cerita dari ketikan ini. Terimakasih, ucap
terahirnya. kemudian dia menutup cerita ini dengan menutup alat ketik ini.
Comments
Post a Comment