Senja yang cemburu


Jalan buatan Jendral Daendless ini memang sudah berpuluh-puluh tahun usianya. Dibangun sebelum negara ini merdeka. Bahkan masih dijajah dengan kerja rodi. Tapi sekarang jalanya sudah bagus. Hanya titik daerah tertentu yang berlubang. Dan sepanjang jalan ini saya melaju.

sumber; google
Tak cukup kencang saya melaju. Seperti kuda berlarian saja dipadang savana. Sekedar saran, jika melaju dijalan buatan Belanda ini sebaiknya menarik gasnya agak dalam. Kalau bisa layaknya kaki Kijang yang berlarian. Kalau tidak Kalian akan terseok-seok oleh kendaraan lain, macam Bus akap dan tronton yang besar serta lebar terutama yang tidak bermuatan. Tapi walau bermuatan atau tidak tetap saja selalu berhati-hati dan waspada.

            Saya melaju kearah barat. Sore hari. Tepat jam pulang kantor. Harusnya cukup nyaman untuk berkendara dengan sepeda motor matik. Biasanya juga paling enak tatkala berkendara di sore hari. Tapi kali ini berbeda. Sampai diujung jalan sana saya merasa bahwa sore ini seperti sebuah kecemburuan.

Kau kenapa, Senja?” Tanyaku kepadanya diujung atas sana.

Tidak apa-apa.”Jawab Senja singkat tanpa menggerakan bibir.

Jujur saja, tubuhmu memancarkan cahaya yang tak biasanya” saya mulai melambat jalanya. Mencoba  menciptakan percakapan yang lebih mendalam.

Kau sendiri tak menyadari apa yang kau perbuat tadi?” Cahayanya semakin terang, “Siapa perempuan tadi?

Siapa?”

Perempuan gendut yang duduk dibelakangmu?” Cahayanya beralih “Pelukan lagi!” Tambahnya, cahayanya mengarah kembali.

Maksud kau, kekasihku?”

Apa?!! Kekasih kau?!!, bukanya kau selama ini tertarik padaku dan menyukaiku?” 
Tubuhnya membelalak, cahayanya kuat dan menembus sisi gelap yang tak terhingga.

Benar, aku menyukaimu, Senja. Tapi kau adalah matahari. Kau tak bisa jadi kekasihku, atau sebaliknya, aku tak bisa jadi milikmu. Kita berbeda.”

Aku cemburu. Dan satu hal lagi akan keyakinanku bahwa semua ceritamu tentang aku, begitu pula bahwa tokohnya itu aku.” Tambahnya. Cahayanya mulai berangsur-angsur lemah. Tapi dirasa masih bikin garis dikening.

Senja, matahari yang paling cantik, yang senatiasa menemani saat sore hari dipantai. Dan yang selalu mendengarkan ceritaku. Maaf, semua itu salah dan bukan kau yang disana.” Jelasku.

            Tiba saatnya jalan Daendless tiba di ujung pertigaan. Jalan itu sebetulnya masih berlanjut sampai ujung barat sana yang katanya sampai Anyer dan berbelok ke kanan. Tapi saya tak pernah sampai kesana. Tetapi memang begitu, saya enggan mengikuti jalan ini yang dibuatnya dengan penderitaan dan penyisksaan. Saya memilih jalan lain menuju kota. Saya lewat jalan lurus. Karena saya masih harus menjelaskan kepada Senja. Lagian kalo mengikuti jalan itu akan lebih jauh beberapa kilometer dengan Senja. Sedangkan saya harus menjelaskan ini agar tak berlarut-larut.

            Sedangkan Senja yang disana masih sama, termangu dengan perasaannya yang hampir membuatnya tidak percaya akan sebenarnya. Bahwa perasaanya serasa berat sampai ke pernafasan:bahwa dugaanya salah: dirinya bukan tokoh sebenarnya dalam ceritanya.

“Apakah kau tidak bisa menjadi kekasihku seperti perempuan gendut itu yang kau anggap,” Senja berhenti untuk beberapa detik, “Kekasihmu sebenarnya?”

Aku cinta padamu. Alam semesta ini tak lebih indah dari yang aku sinari. Kecuali kau.”

Maaf Senja, aku tak bisa.” Kataku jelas

Jadi selama ini yang kau ceritakan bukan aku? Melainkan dia; perempuan gendut itu!

Maaf, tapi dialah yang ada dalam cerita itu. Bukan Kau, Senja. Sekali lagi, maaf.”

            Senja hanya diam. Kemudian dalam diamnya dia meraih semua awan. Dia menutupi sendiri. Sampai seluruh tubuh dan cahayanya tak nampak. Saya melihat seluruh langitnya hitam. Tanpa sebab apapun dan dalam kurun waktu singkat, hujan turun. Deras. Petir menyambar keras. Saya merasa hujan ini adalah sebuah tangisan. Maka, tatkala saya sudah sampai digubuk tempat tinggal, depan jendela ditepi terbenamnya Senja, saya melihat kesana untuk terakhir kali.

Senja, apakah kau sedang menangis?”



#Senja yang hilang ditelan hujan. Tadi sore. Ditemani lagu Glenn fredly 

Comments

Popular posts from this blog

Tresno Joyo

Ringkas Saja Ngomongin Proses Pembuatan Film

Cerita Kalabahu 41: Lantangkan Suara