Bayangan


sumber; go0gle




‘’Aku ingin keluar.’’ Katanya dengan mantap.

‘’Aku sudah bosan!’’ Kali ini wajahnya kesal. Dia berpindah posisi duduknya. Dalam diamnya memang seperti tidak tenang. Bantal gulingnya dipeluk erat. Tatapanya seperti memohon untuk dibelikan sesuatu.

‘’Kamu kenapa?’’ tanya seseorang yang sendari tadi menemani bicaranya.
‘’Aku ingin banyak hal, tapi yang paling pertama, aku ingin bebas dari tempat ini?’’
‘’Kamar ini?’’

‘’Bukan, dan ini bukan sedang berada dikamar yang membuat nyaman apa yang kamu pikirkan.’’

‘’Terus?’’

‘’Ini adalah tempat,,,’’ Dia jeda beberapa detik, merangkai kalimat sesuatu, ‘’ Dimana aku tidak mau berada di sekitar orang-orang ini.’’

‘’Termasuk aku?’’

‘’Iya.’’

‘’Kalo begitu tidak seharusnya kamu bercerita denganku, bukan?’’
Dia berpaling. Kembali memandangku akhirnya. Tatapanya begitu dalam. Seperkian waktu dia buang waktunya untuk menatap mataku. ‘’Seharusnya kamu tidak termasuk,’’ Dia memutuskan tatapanya. Aku bergeming, menunggu kalimat selanjutnya.
Seperti dalam dunia fantasi, tempat kami berbicara berubah seketika. Semua seperti dibongkar dan terlempar jauh dan dengan cepat menghilang; lemari bajunya terbang, dinding temboknya berganti warna gelap. Kasur yang kami duduki bergeser pelan, kami berdiri perlahan, kemudian, Wust!, terbang dengan cepat!, Lampunya berubah tergantikan dengan bolam temaram. Lalu dari arah mana, dua kursi berbentuk tinggi dengan dudukan bebebentuk bundar terbang ke tempat kami. Lantas kami juga ikut terbang, menyuruhnya duduk diatas kursi yang baru datang. Kami berhadapan. Tak lama meja yang berbentuk sama menghampiri. Berenti didepan kami. Jadi kami duduk berhadapan. Lampunya bergeser tepat diatap kami. Dan dua cangkir beraroma coklat panas menghampiri tempat didepan kami, seperti pesanan pada kafe yang pernah kami singgahi bersama. Semua telah siap.

‘’Karena kamu tidak seharusnya disini.’’ Akhirnya dia berujar juga, dia duduk dengan tangan melingkari cangkirnya.

‘’Maksudnya?’’ tanyaku, mencoba memahami maksud apa yang dia katakan.

‘’Ini bukan tempatmu, pergilah.’’

‘’Apa maksud kamu menyuruhku untuk pergi dari sini, bukanya aku yang menghawatirkan keadaanmu?’’ Kataku, mulai riskan dengan apa yang dia ungkapkan.

‘’Aku begini karena menghawatirkanmu.’’

Aku coba menenangkan diri sendiri sambil menyeduh coklat panas. Uh, tidak panas. Untuk beberapa waktu yang dibiarkan, coklat ini sudah tidak panas. Meski sudah tidak panas aromanya masih bisa dihirup. Tapi cukup nyaman untuk diseduh. Aku letakan cangkirnya kembali. Lalu menarik nafas dan menghembuskan pelan.

‘’Aku tidak mengerti, maksud kamu apa?’’ Tanyaku, dengan nada rileks,mencoba kembali memahami.

‘’Apa yang aku inginkan itu adalah keinginan kamu juga.’’ Katanya sambil ketawa sinis, “Kamu hanya takut saja pada apa yang kamu pikirkan, padahal belum tentu. Ya kan?’’ imbuhnya.
Aku tercengang dengan pernyataan dia. Beberapa detik hanya diam membisu memahami apa yang dia katakan.’’ Apa tadi benar apa yang dikatakan barusan aku dengar? ‘’ Aku membatin.

“Tentu saja benar.” Jawabnya, tiba-tiba dia tahu apa yang ada didalam hatiku. Aku kaget. Tatapanku kosong kepadanya. Dia tersenyum seperti mengejek aku.

“Sebetulnya kamu siapa?” Tanyaku seketika.

“Aku? Kamu lupa siapa aku?” Dia langsung tertawa lepas, “Aku itu Kamu!”

Comments

Popular posts from this blog

Tresno Joyo

Ringkas Saja Ngomongin Proses Pembuatan Film

Cerita Kalabahu 41: Lantangkan Suara