Sertifikasi Menulis, Eh, Pernikahan
Sambil menulis, saya membayangkan akan
menikah dengan dengan mbak-mbak penjaga warteg yang dekat dengan pertigaan
jalan tak jauh dari kos-kosan saya. Masya Allah... sampai saya tidak bisa
hilangin bayangan wajahnya yang sedikit manis dan sapaan ‘Mas’ nya yang
beraroma lembut. Tapi kemudian saya teringat bahwa tahun depan untuk menikah
kita harus mengikuti sertifikasi pernikahan atau perkawinan. Duh, pusing, nanti ya mbak, saya harus lulus
sertifikasi dulu.
![]() |
Sumber;Vivanews |
Yak betul, wacana tahun 2020 oleh Menko PMK Bapak
Muhadjir Effendy mewajibkan untuk mengikuti sertifikasi Pernikahan sebagai
syarat untuk melakukan pernikahan. Pernyataan ini memang banyak pertentangan
dari semua kalangan dengan berbagai macam alasan; Memperumit dan menambah
pekerjaan birokasi pelayanan pernikahan-lah, nanti timbul pemerasan dan suap
sertifikasi-lah sampai katanya terlalu mencampuri urusan privasi masyarakat. Wah...
saya juga engga suka, lho, ada orang yang mencampuri urusan asmara kita, ya,
kan beb? Em!
Tetapi kemudian sertifikasi pernikahan ini
dijelaskan kembali oleh Bapak Agus Sartono yang menjabat sebagai Deputi
Koodinasi Bidang Pendidikan dan Agama bahwa pelatihan dan pemberian sertifikat
perkawinan tidak menjadi syarat wajib dari suatu pernikahan.
Jadi sudah tenang dong... bahwa substansinya
yakni pembekalan pada setiap pasangan yang hendak menikah. Lagian juga kalian
tetap bisa menikah kok walau tidak
mengikuti bimbingan pernikahan dan tidak mendapati sertikat pernikahan. Tapi alangkahnya
baiknya, sih, sebagai bekal dan ilmu untuk kebaikan rumah tangga kalian, mending
ikut dalam sertifikasi pernikahan/perkawinan.
Kok kenapa sih sekarang ada sertifikasi
pernikahan padahal kan udah ada? Bener banget. Tepatnya pendiddikan Pra-nikah,
dibawah Kementerian Agama dan menjadi tanggung jawab oleh Kantor Urusan Agama. Bedanya
Sertifikasi Pernikahan/ Perkawinan ini dibawah Menko PMK (itu juga tahu kali)
dan akan lebih paripurna, seperti salah satu isi pelatihanya adalah mengelola
emosi dan kesehatan reproduksi.
Hal lain dari tujuan sertifikasi pernikahan
ini bagus banget, yakni salah satunya adanya adalah mengurangi angka rumah
tangga miskin. Data statistik dari Pengadilan Agama bahwa perkara perceraian
yang telah diputuskan pada tahun 2017 yaitu 105.266 ribu kasus terjadi karena
masalah ekonomi. Atau nomor dua setelah peneyebab perceraian adalah
perselisihan dan pertengkaran. Tapi itu menjadi pembahasan yang membosankan,
kan?
Yang lebih penting adalah siap mental,
material dan finansial. Jreng! kita tahu berkaitan dengan tujuan diatas adalah
pokok permasalahan yang terjadi karena ketidakpastian dalam materi finansial. Sumber
penghasilan yang tidak jelas, sehingga permasalahan rumah tangga menjadi
kompleks, belum lagi pasangan hamil, kurang gizi, anak jadi terlahir stunting. Bla,
bla, bla... syukur-syukur kalian udah memiliki semua hal itu, alhamdulillah.
Saya sempat membaca referensi lain, yang
termasuk tujuan sertifikasi pernikahan adalah membantu calon mempelai yang
belum memiliki sumber penghasilan agar mendapatkan kartu Pra-kerja. Atau opsi
lain bimbingan usaha UMKM. Semua itu akan berkoodinasi dengan kementerian lain.
Jika memang benar begitu dan tidak ada
halangan atau hambatan dalam birokrasi seperti praktik pungutan liar, pemerasan
dan suap dalam mendapatkan sertifikasi pernikahan/perkawinan juga sebelum
terealisasi baiknya ada pematangan dalam sistemnya serta sumber daya manusia
yang mendukung dan berkapasitas.
Mbak,
kayaknya kita harus ikut sertifikasi dulu deh. Tahun
depan, ya?
Akhirusalam, babai.
Comments
Post a Comment